Sabtu, 22 November 2014

Konflik Laut Cina Selatan (Geografi Asia Tenggara)


BAB I
PENDAHULUAN

Dunia internasional ditengah masalah yang cukup kompleks kembali di perumit oleh kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari samudra pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta km². Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudra. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.
Di Laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi, kebanyakan darinya di daerah Kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly tersebar seluas 810 sampai 900 km yang meliputi beberapa 175 fitur insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya menjadi Kepulauan Taiping (Itu Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian 3,8 m. Pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan, yang membentuk kepulauan, jumlahnya mencapai ratusan. Laut dan pulau-pulau yang sebagian besar tidak berpenghuni tersebut di klaim oleh beberapa negara, klaim tersebut jelas tercermin pada beragam nama yang digunakan untuk menyebut pulau-pulau dan laut tersebut.
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah (searah jarum jam dari utara) Republik Rakyat Cina (RRC) termasuk (Makau dan Hongkong), Republik Cina (Taiwan), Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Vietnam. Negara – Negara yang berbatasan inilah yang kemudian memperebutkan wilayah tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH  KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan potensi geografis yang sangat besar. Sumber daya alam yang dimiliki Laut Cina Selatan berupa minyak bumi dan gas alam yang terkandung di dalamnya dengan jumlah yang cukup besar, serta memiliki potensi geografis, karena kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional). Kawasan ini juga banyak dilalui oleh Armada Angkatan Laut, baik berupa kapal tangker maupun Armada Angkatan Laut dari negara-negara maju, seperti dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea  yang melintasi laut itu.
Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun. 
Hal ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2013. Dimana terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di perairan Laut Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan-kepentingan negara-negara besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan-kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di dalam wilayah Laut Cina Selatan tersebut.
Laut Cina Selatan terbentuk sebagai sebuah kepulauan. Dimana, benih-benih perselisihan yang terdapat di Lautan itu, banyak di sebabkan oleh latar belakang historis, baik dari segi penamaan terhadap lautan itu maupun batas-batas kepemilikannya. Dalam hal penamaan misalnya, Republik Rakyat China (RRC), menyebutnya dengan nama Laut Selatan saja. Filipina, menyebutnya dengan nama Laut Luzón (Laut Filiphina Barat), karena keberatan dengan nama Laut Cina Selatan, sebab seolah-olah kawasan itu milik Republik Rakyat Cina (RRC). Sedangkan Vietnam menyebutnya dengan nama Laut Timur. Dari beberapa negara yang mengklaim Laut Cina Selatan, diketahui Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam adalah yang begitu gencar dalam mempertahankan kawasan ini.
Perairan Laut Cina Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat Cina (RRC) berebut kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik yang sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di kawasan Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun 1947 dan terus berlanjut hingga saat ini tahun 2013. Di dalam kawasan Laut Cina Selatan terdapat kepulauan Spartly dan Paracel yang tergolong titik rawan titik rawan dalam soal klaim teritorial. Kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel adalah yang menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim (claimantans). Tetapi yang lebih di sorot adalah kepulauan Spartly yang kemudian menjadi isu dominan Internasional.
Pada Desember 1947 Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan menerbitkan peta yang tidak hanya memuat kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus (yang juga di sebut garis-garis berbentuk huruf U) di seputar wilayah perairan Laut Cina Selatan. Pihak Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim saat peta tersebut diterbitkan pertama kali tidak ada satupun negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga terus digunakan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC), sejak setelah kemenangan Partai Komunis 1949. Meski demikian, Republik Rakyat Cina (RRC) tidak pernah secara terbuka menyatakan detail klaimnya tersebut. Pada tahun 1976 pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) secara paksa mengambil alih dan menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam. Kepulauan itu berada di sebelah Utara kepulauan Spartly. Keduanya sama-sama di yakini kaya akan sumber daya alam gas dan minyak bumi.
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, khususnya sengketa atas kepemilikan kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel mempunyai riwayat yang panjang. Berawal dari konflik yang disebabkan oleh klaim-klaim mengenai perbatasan di wilayah perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan. Sejarah menunjukan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara di antaranya Ingris, Perancis, Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei Darussalam, Filiphina,dan Taiwan. Sengketa teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan. Diawali oleh tuntutan Republik Rakyat Cina (RRC) atas seluruh pulau-pulau di kawasan Laut Cina Selatan yang mengacu kepada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Republik Rakyat Cina (RRC) sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Namun Vietnam membantahnya dan menganggap kepulauan Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Vietnam menyebutkan kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif di dudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu negara.
Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Republik Rakyat Cina (RRC) di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir Vietnam Selatan menduduki kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus di kepulauan Spartly. Selain Vietnam Selatan kepulauan Spartly juga diduduki oleh Taiwan sejak perang dunia II dan Filiphina tahun 1971, alasan Filiphina menduduki kepulauan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang sedang tidak dimiliki oleh negara manapun. Filiphina juga menunjuk perjanjian San-Fransisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap kepulauan Spartly. Malaysia juga menduduki beberapa gugus kepulauan Spartly yang di namai terumbu layang. Menurut Malaysia, langkah itu di ambil berdasarkan peta batas landasan kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari kepulauan Spartly. Sementara Brunei yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Ingris juga 1 januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim, namun Brunei hanya mengklaim perairan dan bukan gugus pulau.  Sampai saat ini negara yang aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filiphina dan Malaysia. Dengan kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya akan menjadi semakin rumit dan membutuhkan mekanisme pengolaan yang lebih berhati-hati.
Dimulai pada tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spartly, Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC) berperang di Lautan memperebutkan gugusan batu karang Johnson (Johnson South Reef). Saat itu Angkatan Laut Vietnam di halang-halangi oleh dua puluh kapal perang milik Republik Rakyat Cina (RRC) yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan, sehingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan kurang lebih sebanyak 70 prajurit Angkatan Laut Vietnam tewas. Sengketa perbatasan yang memicu perang besar juga terjadi di perbatasan darat kedua negara pada tahun 1979 dan 1984. Selain itu juga seperti yang terjadi antara Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam yakni pendudukan Republik Rakyat Cina (RRC) atas Karang Mischief 1995, dan baku tembak antara kapal perang Republik Rakyat Cina (RRC) dan Filiphina didekat pulau Campones 1996, menunjukan sengketa tersebut bisa tersulut menjadi konflik terbuka sewaktu-waktu.Sampai saat ini konflik klaim tumpang tindih yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan masih terus berlangsung dan menjadi perdebatan antara beberapa negara di kawasan ASEAN melalui perundingan diplomasi.
Melihat situasi yang semakin rumit, maka ASEAN mulai bertindak dan ikut turun tangan menanggapi persoalan klaim teritorial yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan. Karena jika konflik ini tidak ditanggapi dengan serius dan dibiarkan begitu saja maka segala bentuk kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan bisa kehilangan daya dukung dan tidak berkelanjutan selain itu juga dapat megancam keaman negara-negara ASEAN, dan sekitarnya. Sepuluh negara anggota ASEAN sepakat mempercepat proses implementasi perilaku yang harus menjadi pegangan sejumlah negara yang terlibat sengketa Laut Cina Selatan. Yakni dengan diadakannya Declaration on the Conduct of Parties (DOC) yaitu hukum yang mengikat pihak-pihak yang bertikai. ASEAN juga menunjukkan keinginan untuk memulai penyusunan dan pembahasan kode etik DOC, yang kemudian akan dibahas dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dan diterapkan di wilayah perairan itu.
Aktor yang berperan didalamnya tidak hanya Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC), tetapi juga melibatkan beberapa negara anggota ASEAN,  yaitu Malaysia dan Filiphina, serta Taiwan. Klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas.Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kawasan Laut Cina Selatan. Kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar masalah ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas Laut Teritorial atau Landasan Kontinen. Persoalannya menjadi semakin kursial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan karena masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing negara.

 KEPENTINGAN NASIONAL CINA DI LAUT CINA SELATAN
Dalam mencermati sepak terjang China yang begitu agresif di kawasan Laut Cina Selatan menurut penulis dapat dilihat dari kepentingan nasionalnya. Konsep kepentingan nasional pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk mencapai kelangsungan hidup suatu negara harus memenuhi kebutuhannya dengan memenuhi kepentingan nasionalnya. Dengan tercapainya kepentingan nasional maka kehidupan Negara akan berlangsung secara stabil, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan keamanan. Kepentingan nasional merupakan tujuan mendasar dan faktor paling menentukan yang memandu para pembuat keputusan dalam merumuskan politik luar negeri.
Kepentingan nasional (national interest) menurut Daniel S. Papp adalah bahwa dalam kepentingan nasional terdapat beberapa aspek, seperti ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan militer, moralitas dan legalitas. Dalam hal ini, faktor ekonomi pada setiap kebijakan yang diambil oleh suatu negara adalah untuk meningkatkan perekonomian bersama. Bidang inilah yang sering dinilai sebagai suatu kepentingan nasional (Daniel S. Papp, 1988). Kepentingan nasional juga dapat dipahami sebagai konsep kunci dalam politik luar negeri. Konsep tersebut dapat diorientasikan pada ideology suatu negara ataupun pada sistem nilai sebagai pedoman perilaku suatu Negara terhadap negara lain. Artinya bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan pada pertimbanganpertimbangan ideologis ataupun dapat terjadi atas dasar pertimbangan kepentingan ekonomi. Namun bisa juga terjadi interplay antara ideologi dengan kepentingan ekonomi sehingga terjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara pertimbanganpertimbangan ideologis dengan kepentingan ekonomi yang tidak menutup kemungkinan terciptanya formulasi kebijaksanaan politik luar negeri yang lain atau baru (Sumpena Prawira Saputra, 1985).
Menurut Anak Agung Banyu Berwita dan Yanyan Mochmamad Yani, konsep kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Para penganut realis menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power atau kekuasaan. Dalam ranah hubungan internasional power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol satu negara terhadap negara lain baik secara individual maupun kolektif. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat melalui cara halus atau kasar. Antara lain adalah dengan teknik paksaan, atau kerjasama (cooperation). Kekuasaan nasional dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk bertahan hidup dalam politik internasional (Anak Agung Banyu Perwita, 2006)
Kepentingan Nasional Cina
Klaim kepemilikan atas kawasan Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh China sejak dekade 1970-an didasarkan pada tiga hal pokok yakni kemajuan ekonomi, politik dankebutuhan akan pertahanan dan keamanan. Pertumbuhan penduduk yang tergolong cepat memungkinkan adanya peningkatan pemanfaatan energi minyak. Bagi China, dalam jangka panjang cadangan minyak Laut Cina Selatan meskipun dalam jumlah yang belum pasti tetap akan digunakan untuk menopang kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan akan cadangan minyak berlebih dari sumber baru sudah dirasakan sejak pertengahan tahun 1970-an yakni ketika produksi minyak China mengalami penurunan. Faktor eksternal yakni krisis minyak dunia juga turut memengaruhi perekonomian dalam negeri akan pentingnya cadangan minyak. Kemerosotan ini terus berlanjut sampai dekade berikutnya meskipun tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Kemungkinan fakta ini dipengaruhi oleh cepatnya pertumbuhan penduduk dan industrialisasi selama program modernisasi. Kecenderungan itu berdampak pada permintaan masyarakat terhadap sumber energi mineral terus bertambah. Sebagai konsekuensinya, China harus meningkatkan impor minyak dan gas, memperbaiki kapabilitas berproduksi atau kerjasama gabungan dalam mengeksplorasi daerah tepi pantai. Meningkatnya kebutuhan China akan minyak terlihat dari kebijakan impor pada tahun 1993. Menurut penilaian Hisahiro Kanayama dari Institute for International Policy Studies sampai bulan Juni 1994 diperkirakan kebutuhan energy China terutama minyak akan melebihi jumlah produksinya (Asnani Usman dan Rizal Sukma, Konflik Laut Cina Selatan dan Tantangan bagi ASEAN, CSIS, 1997). Guna mengurangi impor minyak, dalam jangka panjang negara ini memanfaatkan Laut Cina Selatan sebagai tempat memperoleh lading minyak baru dan sekaligus sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Dari aspek politik, klaim tersebut berkaitan dengan strategi politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara. Laut Cina Selatan dianggap sebagai territorial China untuk memproyeksikan peranan strategisnya secara aktual. Keterlibatan Beijing dalam persengketaan tersebut sematamata hanya untuk menegaskan kembali  perannya sebagai negara besar dalam percaturan regional.

Berakhirnya konflik Kamboja telah mengubah peran Beijing yang sebelumnya memanfaatkan isu tersebut untuk menarik negara-negara non-komunis ke dalam pengaruhnya. Melalui langkah ini, China dapat mengisolasi posisi Vietnam secara regional. Penyelesaian Kamboja berdampak pada corak politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara terutama yang tergabung dalam ASEAN. Sebagai upaaya alternatif, negara tirai bambu ini berusaha mengembangkan hubungan kerjasama baru khususnya dalam bidang politik dan ekonomi. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya menghapus kesan “bahaya kuning atau ancaman dari utara”. Isu bahaya kuning seringkali dikaitkan dengan adanya pemberontakan komunis yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara yang secara langsung maupun tidak disuport oleh China. Isu tersebut dan juga peristiwa Tiananmen yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM telah menurunkan citra internasional.
Dari bidang pertahanan dan keamanan, klaim China berkaitan dengan kesalahan pengalaman masa lalu yang kurang memberi perhatian pada potensi laut. Pertama, faktor lemahnya kekuatan laut sekeliling China merupakan peluang yang mempermudah penetrasi imperialisme Barat yang pada akhirnya berakibat pada terbagibaginya wilayah China ke dalam penguasaan kekuatan asing. Selama Perang Dingin persepsi ancaman terhadap Soviet muncul seiring dengan pembangunan pangkalan militernya di Vietnam. Hal ini terlihat ketika China memberi “pelajaran” terhadap Vietnam (1979) Uni Soviet juga telah mengirimkan armadanya sebagai penangkal terhadap inisiatif Angkatan Laut China di Pulau Hainan dan Kepulauan Paracel. Kedua, dalam kaitannya dengan kepentingan keamanan, Cina membutuhkan suatu armada angkatan laut yang kuat dan pangkalan yang strategis. Ketegasan sikap China dalam mempertahankan klaimnya atas wilayah Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan niatnya untuk memperoleh status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan hanya di tingkat regional (Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga internasional. Sebagai salah satu sasaran program modernisasi, China berusaha mengembangkan kemampuan Angkatan Laut guna meningkatkan statusnya dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut biru (blue water navy), suatu kekuatan yang memiliki kemampuan proyeksi jauh ke wilayah samudra luas. Artinya kekuatan laut biru dapat dijadikan sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi yang semakin dipertimbangkan di arena internasional. Selain ketiga hal di atas, China sensitive terhadap masalah kedaulatan akibat penindasan asing. Bayang-bayang ancaman dari luar negeri muncul kembali bersamaan dengan pecahnya Soviet menjadi beberapa negara merdeka. Bagi pemimpin Beijing, semangat nasionalisme tersebut dapat menyebar sehingga bisa menimbulkan disintegrasi bangsa. Fenomena ini berkaitan dengan daerah-daerah minoritas yang pernah mengalami tekanan berat dari pemerintah pusat. Strategi China dalam sengketa Laut Cina Selatan merupakan paket yang sama dengan usaha mempertahankan integritas teritorialnya. Kepentingan China terhadap Laut Cina Selatan terutama Kepulauan Spratly dan Paracel tidak hanya dimaksudkan untuk memenuhi dan menunjang program modernisasi namun juga upaya penyatuan Taiwan. Apabila China berhasil menguasai dan mengontrol lalu lintas kapal yang melintasi Laut Cina Selatan, maka negara ini mampu mempertahankan integritas Taiwan sebagai teritorinya yang terwujud dalam semboyan “satu China”.
SOLUSI PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Konflik Laut Cina Selatan memang rumit. Selain Cina yang mengklaim seluruh Kepulauan Spratly dan Paracel, terdapat pula Taiwan dan empat negara ASEAN, Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam. Situasi di kawasan itu sendiri sering menimbulkan ketegangan setelah terjadi perang kata-kata antara Filipina dengan Cina atau Vietnam dengan Cina.Sedikitnya ada tiga kecenderungan dalam penyelesaian klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan (LCS). Pertama, perundingan bilateral antara yang berkepentingan seperti dilakukan Cina dan Filipina. Kedua, jalur perundingan multilateral di mana semua pengklaim berkumpul bersama baik melalui forum internasional maupun regional untuk menyelesaikan kasus mereka. Ketiga, tidak tertutup kemungkinan laras meriam berbicara lebih keras dibanding adu pendapat di meja perundingan.

a. Jalur bilateral

Benarkah jalur bilateral bisa menyelesaikan konflik kedaulatan di LCS? Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Filipina meningkatkan kehadiran militer ketika ketegangan dengan Cina meningkat. Cina mengecam Vietnam yang sudah menjalin kerja sama penyelidikan kelautan dengan Rusia. Beijing juga mengkritik Hanoi karena mengizinkan perusahaan minyak AS melakukan eksplorasi di perairan yang diklaimnya. Sejumlah bukti itu memperlihatkan kelemahan kesepakatan bilateral. Memang kontak dua negara bisa dengan cepat menyelesaikan pentingnya pemanfaatan kekayaan alam di LCS. Namun tidak tersentuhnya isu kedaulatan yang menjadi inti konflik menyebabkan kesepakatan itu limbung. Terkena sedikit angin, bubarlah kesepakatan itu digantikan kekuatan militer yang berbicara lebih vokal.

b. Forum multilateral
Satu-satunya forum mulilateral yang ditempuh negara yang terlibat konflik adalah Lokakarya Pengelolaan Konflik di Laut Cina Selatan yang sudah berlangsung lima kali di Indonesia. Meskipun pertemuan itu bersifat informal namun tidak menghilangkan bobotnya sebagai forum tukar pikiran dan kerja sama. Secara teoritis, jika sudah timbul saling pengertian diharapkan isu inti yakni klaim tumpang tindih di lautan ini bisa ditempuh secara bertahap. Berbagai makalah tentang solusi multilateral sudah diajukan. Misalnya pakar dari Kanada mengambil contoh forum kerja sama di Teluk Maine antara AS dan Kanada. Karena dua negara bersahabat, kerja sama berjalan baik. Namun bila suasana tidak mendukung, seperti terjadi misalnya dalam kerja sama di Laut Baltik, Mediterania dan Laut Hitam, maka hasilnya tak maksimal. Juga hubungan dua negara antara Argentina dan Cile mempersulit kerja sama di Terusan Beagle.

c. Langkah militer
Pembangunan landas pacu dan pengiriman kapal militer oleh Cina bukan rahasia lagi. Klaim yurisdiksi ini bahkan diperkuat landasan hukum di Cina sendiri sehingga bagi militer adalah sah saja menganggap LCS milik Beijing seluruhnya. Mereka yang mengklaim secara sebagian seperti Filipina, Malaysia atau Brunei dianggapnya merongrong kedaulatan.
Bagi negara tetangga Cina, berhadapan dengan naga raksasa ini sangatlah menakutkan. Namun mereka tidak sendiri. Bagi Filipina, keberanian itu dimungkinkan karena keyakinan bahwa Amerika Serikat bahkan mungkin Jepang, takkan membiarkan Cina menjadi kekuatan hegemoni di LCS.Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main gertak saja. Persoalannya, main gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat bentrokan terbatas, sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya alam di LCS. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan.





PETA BATAS-BATAS KLAIM LAUT CINA SELATAN
http://saripedia.files.wordpress.com/2012/09/48951920_south_china-sea_1_466.gif?w=570
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kawasan Laut Cina Selatan adalah suatu kawasan yang memiliki berbagai potensi yang sangat besar, yakni berupa potensi sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas alam maupun kekayaan alam berupa hasil ikan yang melimpah yang terkandung di dalamnya serta potensi geografis yang dimilkinya yakni letaknya yang sangat strategis dan banyak di lalui oleh kapal-kapal milik Negara maju, sebagai jalur distribusi minyak dunia, jalur pelayaran serta komunikasi internasional. Hal ini banyak menarik perhatian Negara-negara yang masih membutuhkan energy untuk perkembangan industrialisasinya. Baik Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Kawasan Laut Cina Selatan, maupun Negara-negara besar yang mempunyai ambisi global tersendiri bagi kepentingan pribadi masing-masing Negara.
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan salah satu yang penting bagi negara-negara yang membutuhkan energi bagi perkembangan industrialisasinya. Karena kekayaan alam yang dimilikinya serta posisinya yang strategis, sehingga banyak negara yang menginginkan kepemilikan kawasan ini. Laut Cina Selatan sebagai kawasan yang memiliki banyak potensi yang terkandung di dalamnya di satu sisi menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang sangat menguntungkan bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan tersendiri terhadap kawasan ini, akan tetapi di sisi lain karena besarnya potensi yang dimiliki oleh Laut Cina Selatan dan banyaknya negara yang menginginkan kepemilikan kawasan ini maka kawasan Laut Cina Selatan juga mengandung potensi konflik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa insiden yang sempat terjadi di perairan Laut Cina Selatan, seperti bentrokan senjata yang terjadi antara negara-negara yang berkonflik sepanjang konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan.
Keamanan kawasan Asia Timur pasca perang Dingin melahirkan ketidak pastian strategis. Kondisi yang tidak pasti ini tentu saja mempengaruhi presepsi masing-masing negara baik yang terlibat secara langsung maupun negara-negara yang berada di kawasan tersebut tapi tidak terlibat secara langsung. Tingginya dinamika interaksi di Laut Cina Selatan menunjukan besarnya kapabilitas ekonomi, politik, dan militer di kawasan ini. Konflik perbatasan dan klaim tumpang tindih yang terjadi di Kawasan Laut Cina Selatan masih kerap terjadi di antara Negara-negara yang berbatasan langsung dengan perairan yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi yang sangat strategis, dan hal ini menjadi perdebatan antar beberapa negara-negara pengklaim kawasan tersebut. Beberapa upaya telah dilakukan dalam mengatasi konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan salah satunya yakni dengan cara diadakannnya perundingan-perundingan yang melibatkan beberapa negara yang berkonflik hal ini ditujukan untuk meredam konflik yang tengah terjadi di kawasan tersebut. Adapun hasil dari penelitin menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan dan yang melibatkan Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Malaysia, Taiwan, Filiphina, dan Brunei Darussalam ini menimbulkan implikasi-implikasi politik dan keamanan yang diakibatkan oleh adanya pergesekan kepentingan-kepentingan di antara Negara-negara yang terlibat tersebut demi kepentingan masing-masing negara.

 Daftar Pustaka

http://neetatakky.blogspot.com/2011/05/solusi-penyelesaian-konflik-laut-cina.html
http://www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm
http://judiono.wordpress.com/2009/01/05/mencermati-sengketa-teritorial-laut-cina-selatan/
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar