BAB I
PENDAHULUAN
Dunia
internasional ditengah masalah yang cukup kompleks kembali di perumit oleh
kasus yang terjadi di Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan merupakan bagian
dari samudra pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura
dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan
dengan luas sekitar 3.5 juta km². Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini
merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudra.
Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat
besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu
juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia,
perdagangan, dan pelayaran internasional.
Di
Laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi, kebanyakan
darinya di daerah Kepulauan Spratly.
Kepulauan Spratly tersebar seluas 810 sampai 900 km yang meliputi beberapa 175
fitur insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya menjadi Kepulauan Taiping (Itu Aba) yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian 3,8 m. Pulau-pulau kecil
di Laut Cina Selatan, yang membentuk kepulauan, jumlahnya mencapai ratusan.
Laut dan pulau-pulau yang sebagian besar tidak berpenghuni tersebut di klaim
oleh beberapa negara, klaim tersebut jelas tercermin pada beragam nama yang
digunakan untuk menyebut pulau-pulau dan laut tersebut.
Negara-negara
dan wilayah yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan adalah (searah jarum jam
dari utara) Republik Rakyat Cina (RRC) termasuk (Makau dan Hongkong), Republik
Cina (Taiwan), Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Vietnam.
Negara – Negara yang berbatasan inilah yang kemudian memperebutkan wilayah
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Laut
Cina Selatan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan
potensi geografis yang sangat besar. Sumber daya alam yang dimiliki Laut Cina
Selatan berupa minyak bumi dan gas alam yang terkandung di dalamnya dengan
jumlah yang cukup besar, serta memiliki potensi geografis, karena kawasan
tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas
laut perdagangan internasional). Kawasan ini juga banyak dilalui oleh Armada
Angkatan Laut, baik berupa kapal tangker maupun Armada Angkatan Laut dari
negara-negara maju, seperti dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea yang melintasi laut itu.
Kawasan
Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan
kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga
menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja
sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak
bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat
penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan
kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama
bertahun-tahun.
Hal
ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2013. Dimana
terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar
kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik
Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam.
Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di perairan Laut
Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan-kepentingan negara-negara
besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat, Jepang,
Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan-kandungan
sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di dalam wilayah
Laut Cina Selatan tersebut.
Laut Cina Selatan
terbentuk sebagai sebuah kepulauan. Dimana, benih-benih perselisihan yang
terdapat di Lautan itu, banyak di sebabkan oleh latar belakang historis, baik
dari segi penamaan terhadap lautan itu maupun batas-batas kepemilikannya. Dalam
hal penamaan misalnya, Republik Rakyat China (RRC), menyebutnya dengan nama Laut Selatan saja. Filipina,
menyebutnya dengan nama Laut Luzón
(Laut Filiphina Barat), karena keberatan dengan nama Laut Cina Selatan, sebab
seolah-olah kawasan itu milik Republik Rakyat Cina (RRC). Sedangkan Vietnam menyebutnya
dengan nama Laut Timur. Dari beberapa
negara yang mengklaim Laut Cina Selatan, diketahui Republik Rakyat Cina (RRC)
dan Vietnam adalah yang begitu gencar dalam mempertahankan kawasan ini.
Perairan
Laut Cina Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat Cina (RRC)
berebut kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia, Vietnam, dan
Taiwan. Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik Rakyat Cina
(RRC), Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik yang
sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di
kawasan Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun 1947 dan
terus berlanjut hingga saat ini tahun 2013. Di dalam kawasan Laut Cina Selatan
terdapat kepulauan Spartly dan Paracel yang tergolong titik rawan titik rawan
dalam soal klaim teritorial. Kepulauan Spartly dan kepulauan Paracel adalah
yang menjadi fokus perebutan antara negara-negara pengklaim (claimantans). Tetapi yang lebih di sorot
adalah kepulauan Spartly yang kemudian menjadi isu dominan Internasional.
Pada
Desember 1947 Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengklaim hampir seluruh
wilayah Laut Cina Selatan dengan menerbitkan peta yang tidak hanya memuat
kepulauan-kepulauan utama di wilayah Laut Cina Selatan, tetapi juga memberi
tanda sebelas garis putus-putus (yang juga di sebut garis-garis berbentuk huruf
U) di seputar wilayah perairan Laut Cina Selatan. Pihak Republik Rakyat Cina
(RRC) mengklaim saat peta tersebut diterbitkan pertama kali tidak ada satupun
negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga terus digunakan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC),
sejak setelah kemenangan Partai Komunis 1949. Meski demikian, Republik Rakyat
Cina (RRC) tidak pernah secara terbuka menyatakan detail klaimnya tersebut.
Pada tahun 1976 pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) secara paksa mengambil
alih dan menguasai kepulauan Paracel dari Vietnam. Kepulauan itu berada di
sebelah Utara kepulauan Spartly. Keduanya sama-sama di yakini kaya akan sumber
daya alam gas dan minyak bumi.
Sengketa
teritorial di Laut Cina Selatan, khususnya sengketa atas kepemilikan kepulauan
Spartly dan kepulauan Paracel mempunyai riwayat yang panjang. Berawal dari
konflik yang disebabkan oleh klaim-klaim mengenai perbatasan di wilayah
perairan dan kepulauan di Laut Cina Selatan. Sejarah menunjukan bahwa,
penguasaan kepulauan ini telah melibatkan banyak negara di antaranya Ingris,
Perancis, Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, yang kemudian melibatkan
pula Malaysia, Brunei Darussalam, Filiphina,dan Taiwan. Sengketa teritorial dan
penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan. Diawali oleh tuntutan Republik
Rakyat Cina (RRC) atas seluruh pulau-pulau di kawasan Laut Cina Selatan yang
mengacu kepada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta
dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Republik Rakyat Cina
(RRC) sejak 2000 tahun yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur
pelayaran bagi mereka. Namun Vietnam membantahnya dan menganggap kepulauan
Spartly dan Paracel adalah bagian dari wilayah kedaulatannya. Vietnam
menyebutkan kepulauan Spartly dan Paracel secara efektif di dudukinya sejak
abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada dalam penguasaan suatu
negara.
Dalam
perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan Republik Rakyat Cina
(RRC) di kawasan tersebut, sehingga pada saat perang dunia II berakhir Vietnam
Selatan menduduki kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus di kepulauan
Spartly. Selain Vietnam Selatan kepulauan Spartly juga diduduki oleh Taiwan
sejak perang dunia II dan Filiphina tahun 1971, alasan Filiphina menduduki
kepulauan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang sedang tidak
dimiliki oleh negara manapun. Filiphina juga menunjuk perjanjian San-Fransisco
1951, yang antara lain menyatakan, Jepang telah melepas haknya terhadap
kepulauan Spartly. Malaysia juga menduduki beberapa gugus kepulauan Spartly
yang di namai terumbu layang. Menurut Malaysia, langkah itu di ambil
berdasarkan peta batas landasan kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup
sebagian dari kepulauan Spartly. Sementara Brunei yang memperoleh kemerdekaan secara
penuh dari Ingris juga 1 januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim, namun
Brunei hanya mengklaim perairan dan bukan gugus pulau. Sampai saat ini negara yang aktif menduduki
di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filiphina dan Malaysia. Dengan
kondisi seperti ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina
Selatan tampaknya akan menjadi semakin rumit dan membutuhkan mekanisme
pengolaan yang lebih berhati-hati.
Dimulai
pada tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spartly, Vietnam dan Republik
Rakyat Cina (RRC) berperang di Lautan memperebutkan gugusan batu karang Johnson
(Johnson South Reef). Saat itu Angkatan Laut Vietnam di halang-halangi oleh dua
puluh kapal perang milik Republik Rakyat Cina (RRC) yang sedang berlayar di
Laut Cina Selatan, sehingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan kurang lebih
sebanyak 70 prajurit Angkatan
Laut Vietnam tewas. Sengketa perbatasan
yang memicu perang besar juga terjadi di perbatasan darat kedua negara pada
tahun 1979 dan 1984. Selain itu juga seperti yang terjadi antara Republik
Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam yakni pendudukan Republik Rakyat Cina (RRC) atas
Karang Mischief 1995, dan baku tembak antara kapal perang Republik Rakyat Cina
(RRC) dan Filiphina didekat pulau Campones 1996, menunjukan sengketa tersebut
bisa tersulut menjadi konflik terbuka sewaktu-waktu.Sampai saat ini konflik
klaim tumpang tindih yang terjadi di wilayah Laut Cina Selatan masih terus
berlangsung dan menjadi perdebatan antara beberapa negara di kawasan ASEAN
melalui perundingan diplomasi.
Melihat
situasi yang semakin rumit, maka ASEAN mulai bertindak dan ikut turun tangan
menanggapi persoalan klaim teritorial yang terjadi di wilayah Laut Cina
Selatan. Karena jika konflik ini tidak ditanggapi dengan serius dan dibiarkan
begitu saja maka segala bentuk kerjasama di kawasan Laut Cina Selatan bisa
kehilangan daya dukung dan tidak berkelanjutan selain itu juga dapat megancam
keaman negara-negara ASEAN, dan sekitarnya.
Sepuluh negara anggota ASEAN sepakat mempercepat proses implementasi
perilaku yang harus menjadi pegangan sejumlah negara yang terlibat sengketa
Laut Cina Selatan. Yakni dengan diadakannya Declaration
on the Conduct of Parties (DOC) yaitu hukum yang mengikat pihak-pihak yang
bertikai. ASEAN juga menunjukkan keinginan untuk memulai penyusunan dan
pembahasan kode etik DOC, yang kemudian akan dibahas dengan Republik Rakyat
Cina (RRC) dan diterapkan di wilayah perairan itu.
Aktor
yang berperan didalamnya tidak hanya Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC),
tetapi juga melibatkan beberapa negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filiphina, serta Taiwan.
Klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam,
konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang
terlibat. Selain itu Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dari hampir semua negara yang
berbatasan dengan Laut Cina Selatan, saling tumpang tindih, sehingga
menimbulkan masalah dalam penentuan batas.Kenyataannya terjadi perang klaim dan
upaya-upaya penguasaan atas kawasan Laut Cina Selatan. Kepemilikan sejumlah
pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar masalah ini sehingga
menimbulkan ketegangan tentang hak atas Laut Teritorial atau Landasan Kontinen.
Persoalannya menjadi semakin kursial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang
tindih yang disebabkan karena masing-masing negara mengklaim kepemilikannya
yang berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal
formal (tertulis), demi kepentingan masing-masing negara.
KEPENTINGAN NASIONAL CINA DI LAUT CINA SELATAN
Dalam mencermati sepak terjang China yang begitu
agresif di kawasan Laut Cina Selatan menurut penulis dapat dilihat dari
kepentingan nasionalnya. Konsep kepentingan nasional pada dasarnya menjelaskan
bahwa untuk mencapai kelangsungan hidup suatu negara harus memenuhi
kebutuhannya dengan memenuhi kepentingan nasionalnya. Dengan tercapainya
kepentingan nasional maka kehidupan Negara akan berlangsung secara stabil, baik
dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun pertahanan keamanan. Kepentingan
nasional merupakan tujuan mendasar dan faktor paling menentukan yang memandu
para pembuat keputusan dalam merumuskan politik luar negeri.
Kepentingan nasional (national interest) menurut
Daniel S. Papp adalah bahwa dalam kepentingan nasional terdapat beberapa aspek,
seperti ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan militer, moralitas dan
legalitas. Dalam hal ini, faktor ekonomi pada setiap kebijakan yang diambil
oleh suatu negara adalah untuk meningkatkan perekonomian bersama. Bidang inilah
yang sering dinilai sebagai suatu kepentingan nasional (Daniel S. Papp, 1988).
Kepentingan nasional juga dapat dipahami sebagai konsep kunci dalam politik
luar negeri. Konsep tersebut dapat diorientasikan pada ideology suatu negara
ataupun pada sistem nilai sebagai pedoman perilaku suatu Negara terhadap negara
lain. Artinya bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan
pada pertimbanganpertimbangan ideologis ataupun dapat terjadi atas dasar
pertimbangan kepentingan ekonomi. Namun bisa juga terjadi interplay antara ideologi
dengan kepentingan ekonomi sehingga terjalin hubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi antara pertimbanganpertimbangan ideologis dengan kepentingan
ekonomi yang tidak menutup kemungkinan terciptanya formulasi kebijaksanaan
politik luar negeri yang lain atau baru (Sumpena Prawira Saputra, 1985).
Menurut Anak Agung Banyu Berwita dan Yanyan Mochmamad
Yani, konsep kepentingan nasional sangat penting untuk menjelaskan dan memahami
perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk
menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Para penganut realis menyamakan
kepentingan nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power atau kekuasaan.
Dalam ranah hubungan internasional power adalah segala sesuatu yang
dapat mengembangkan dan memelihara kontrol satu negara terhadap negara lain
baik secara individual maupun kolektif. Hubungan kekuasaan atau pengendalian
ini dapat melalui cara halus atau kasar. Antara lain adalah dengan teknik
paksaan, atau kerjasama (cooperation). Kekuasaan nasional dan
kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan
suatu negara untuk bertahan hidup dalam politik internasional (Anak Agung Banyu
Perwita, 2006)
Kepentingan
Nasional Cina
Klaim kepemilikan atas kawasan Laut Cina Selatan yang
dilakukan oleh China sejak dekade 1970-an didasarkan pada tiga hal pokok yakni
kemajuan ekonomi, politik dankebutuhan akan pertahanan dan keamanan.
Pertumbuhan penduduk yang tergolong cepat memungkinkan adanya peningkatan
pemanfaatan energi minyak. Bagi China, dalam jangka panjang cadangan minyak
Laut Cina Selatan meskipun dalam jumlah yang belum pasti tetap akan digunakan
untuk menopang kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan akan cadangan minyak berlebih
dari sumber baru sudah dirasakan sejak pertengahan tahun 1970-an yakni ketika
produksi minyak China mengalami penurunan. Faktor eksternal yakni krisis minyak
dunia juga turut memengaruhi perekonomian dalam negeri akan pentingnya cadangan
minyak. Kemerosotan ini terus berlanjut sampai dekade berikutnya meskipun tidak
diketahui jumlahnya secara pasti. Kemungkinan fakta ini dipengaruhi oleh
cepatnya pertumbuhan penduduk dan industrialisasi selama program modernisasi.
Kecenderungan itu berdampak pada permintaan masyarakat terhadap sumber energi
mineral terus bertambah. Sebagai konsekuensinya, China harus meningkatkan impor
minyak dan gas, memperbaiki kapabilitas berproduksi atau kerjasama gabungan
dalam mengeksplorasi daerah tepi pantai. Meningkatnya kebutuhan China akan
minyak terlihat dari kebijakan impor pada tahun 1993. Menurut penilaian
Hisahiro Kanayama dari Institute for International Policy Studies sampai
bulan Juni 1994 diperkirakan kebutuhan energy China terutama minyak akan
melebihi jumlah produksinya (Asnani Usman dan Rizal Sukma, Konflik Laut Cina
Selatan dan Tantangan bagi ASEAN, CSIS, 1997). Guna mengurangi impor
minyak, dalam jangka panjang negara ini memanfaatkan Laut Cina Selatan sebagai
tempat memperoleh lading minyak baru dan sekaligus sebagai jalur lalu lintas
perdagangan. Dari aspek politik, klaim tersebut berkaitan dengan strategi
politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara. Laut Cina
Selatan dianggap sebagai territorial China untuk memproyeksikan peranan
strategisnya secara aktual. Keterlibatan Beijing dalam persengketaan tersebut
sematamata hanya untuk menegaskan kembali
perannya sebagai negara besar dalam percaturan regional.
Berakhirnya konflik Kamboja telah mengubah peran
Beijing yang sebelumnya memanfaatkan isu tersebut untuk menarik negara-negara
non-komunis ke dalam pengaruhnya. Melalui langkah ini, China dapat mengisolasi
posisi Vietnam secara regional. Penyelesaian Kamboja berdampak pada corak
politik luar negeri China terhadap negara-negara Asia Tenggara terutama yang
tergabung dalam ASEAN. Sebagai upaaya alternatif, negara tirai bambu ini
berusaha mengembangkan hubungan kerjasama baru khususnya dalam bidang politik
dan ekonomi. Kebijakan ini ditempuh sebagai upaya menghapus kesan “bahaya
kuning atau ancaman dari utara”. Isu bahaya kuning seringkali dikaitkan dengan
adanya pemberontakan komunis yang terjadi di beberapa negara Asia Tenggara yang
secara langsung maupun tidak disuport oleh China. Isu tersebut dan juga
peristiwa Tiananmen yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM telah menurunkan
citra internasional.
Dari bidang pertahanan dan keamanan, klaim China
berkaitan dengan kesalahan pengalaman masa lalu yang kurang memberi perhatian
pada potensi laut. Pertama, faktor lemahnya kekuatan laut sekeliling
China merupakan peluang yang mempermudah penetrasi imperialisme Barat yang pada
akhirnya berakibat pada terbagibaginya wilayah China ke dalam penguasaan
kekuatan asing. Selama Perang Dingin persepsi ancaman terhadap Soviet muncul
seiring dengan pembangunan pangkalan militernya di Vietnam. Hal ini terlihat
ketika China memberi “pelajaran” terhadap Vietnam (1979) Uni Soviet juga telah
mengirimkan armadanya sebagai penangkal terhadap inisiatif Angkatan Laut China
di Pulau Hainan dan Kepulauan Paracel. Kedua, dalam kaitannya dengan
kepentingan keamanan, Cina membutuhkan suatu armada angkatan laut yang kuat dan
pangkalan yang strategis. Ketegasan sikap China dalam mempertahankan klaimnya
atas wilayah Laut Cina Selatan juga berkaitan dengan niatnya untuk memperoleh
status sebagai kekuatan maritim yang handal bukan hanya di tingkat regional
(Asia Timur dan Asia Tenggara) tapi juga internasional. Sebagai salah satu
sasaran program modernisasi, China berusaha mengembangkan kemampuan Angkatan
Laut guna meningkatkan statusnya dari “kekuatan pantai” menjadi kekuatan laut
biru (blue water navy), suatu kekuatan yang memiliki kemampuan proyeksi
jauh ke wilayah samudra luas. Artinya kekuatan laut biru dapat dijadikan
sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi yang semakin dipertimbangkan di arena
internasional. Selain ketiga hal di atas, China sensitive terhadap masalah
kedaulatan akibat penindasan asing. Bayang-bayang ancaman dari luar negeri
muncul kembali bersamaan dengan pecahnya Soviet menjadi beberapa negara
merdeka. Bagi pemimpin Beijing, semangat nasionalisme tersebut dapat menyebar sehingga
bisa menimbulkan disintegrasi bangsa. Fenomena ini berkaitan dengan
daerah-daerah minoritas yang pernah mengalami tekanan berat dari pemerintah
pusat. Strategi China dalam sengketa Laut Cina Selatan merupakan paket yang
sama dengan usaha mempertahankan integritas teritorialnya. Kepentingan China
terhadap Laut Cina Selatan terutama Kepulauan Spratly dan Paracel tidak hanya
dimaksudkan untuk memenuhi dan menunjang program modernisasi namun juga upaya
penyatuan Taiwan. Apabila China berhasil menguasai dan mengontrol lalu lintas
kapal yang melintasi Laut Cina Selatan, maka negara ini mampu mempertahankan
integritas Taiwan sebagai teritorinya yang terwujud dalam semboyan “satu
China”.
SOLUSI
PENYELESAIAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Konflik
Laut Cina Selatan memang rumit. Selain Cina yang mengklaim seluruh Kepulauan
Spratly dan Paracel, terdapat pula Taiwan dan empat negara ASEAN, Vietnam,
Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam. Situasi di kawasan itu sendiri sering
menimbulkan ketegangan setelah terjadi perang kata-kata antara Filipina dengan Cina
atau Vietnam dengan Cina.Sedikitnya ada tiga kecenderungan dalam penyelesaian
klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan (LCS). Pertama, perundingan bilateral
antara yang berkepentingan seperti dilakukan Cina dan Filipina. Kedua, jalur
perundingan multilateral di mana semua pengklaim berkumpul bersama baik melalui
forum internasional maupun regional untuk menyelesaikan kasus mereka. Ketiga,
tidak tertutup kemungkinan laras meriam berbicara lebih keras dibanding adu
pendapat di meja perundingan.
a. Jalur bilateral
Benarkah jalur bilateral bisa menyelesaikan konflik kedaulatan di LCS? Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Filipina meningkatkan kehadiran militer ketika ketegangan dengan Cina meningkat. Cina mengecam Vietnam yang sudah menjalin kerja sama penyelidikan kelautan dengan Rusia. Beijing juga mengkritik Hanoi karena mengizinkan perusahaan minyak AS melakukan eksplorasi di perairan yang diklaimnya. Sejumlah bukti itu memperlihatkan kelemahan kesepakatan bilateral. Memang kontak dua negara bisa dengan cepat menyelesaikan pentingnya pemanfaatan kekayaan alam di LCS. Namun tidak tersentuhnya isu kedaulatan yang menjadi inti konflik menyebabkan kesepakatan itu limbung. Terkena sedikit angin, bubarlah kesepakatan itu digantikan kekuatan militer yang berbicara lebih vokal.
b. Forum multilateral
Satu-satunya forum mulilateral yang ditempuh negara yang terlibat konflik adalah Lokakarya Pengelolaan Konflik di Laut Cina Selatan yang sudah berlangsung lima kali di Indonesia. Meskipun pertemuan itu bersifat informal namun tidak menghilangkan bobotnya sebagai forum tukar pikiran dan kerja sama. Secara teoritis, jika sudah timbul saling pengertian diharapkan isu inti yakni klaim tumpang tindih di lautan ini bisa ditempuh secara bertahap. Berbagai makalah tentang solusi multilateral sudah diajukan. Misalnya pakar dari Kanada mengambil contoh forum kerja sama di Teluk Maine antara AS dan Kanada. Karena dua negara bersahabat, kerja sama berjalan baik. Namun bila suasana tidak mendukung, seperti terjadi misalnya dalam kerja sama di Laut Baltik, Mediterania dan Laut Hitam, maka hasilnya tak maksimal. Juga hubungan dua negara antara Argentina dan Cile mempersulit kerja sama di Terusan Beagle.
c. Langkah militer
Pembangunan landas pacu dan pengiriman kapal militer oleh Cina bukan rahasia lagi. Klaim yurisdiksi ini bahkan diperkuat landasan hukum di Cina sendiri sehingga bagi militer adalah sah saja menganggap LCS milik Beijing seluruhnya. Mereka yang mengklaim secara sebagian seperti Filipina, Malaysia atau Brunei dianggapnya merongrong kedaulatan.
Bagi negara tetangga Cina, berhadapan dengan naga raksasa ini sangatlah menakutkan. Namun mereka tidak sendiri. Bagi Filipina, keberanian itu dimungkinkan karena keyakinan bahwa Amerika Serikat bahkan mungkin Jepang, takkan membiarkan Cina menjadi kekuatan hegemoni di LCS.Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main gertak saja. Persoalannya, main gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat bentrokan terbatas, sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya alam di LCS. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan.
PETA BATAS-BATAS KLAIM LAUT CINA
SELATAN
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kawasan Laut Cina
Selatan adalah suatu kawasan yang memiliki berbagai potensi yang sangat besar,
yakni berupa potensi sumber daya alam seperti minyak bumi dan gas alam maupun
kekayaan alam berupa hasil ikan yang melimpah yang terkandung di dalamnya serta
potensi geografis yang dimilkinya yakni letaknya yang sangat strategis dan
banyak di lalui oleh kapal-kapal milik Negara maju, sebagai jalur distribusi
minyak dunia, jalur pelayaran serta komunikasi internasional. Hal
ini banyak menarik perhatian Negara-negara yang masih membutuhkan energy untuk
perkembangan industrialisasinya. Baik Negara-negara yang berbatasan langsung
dengan Kawasan Laut Cina Selatan, maupun Negara-negara besar yang mempunyai
ambisi global tersendiri bagi kepentingan pribadi masing-masing Negara.
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan salah satu yang
penting bagi negara-negara yang membutuhkan energi bagi perkembangan
industrialisasinya. Karena kekayaan alam yang dimilikinya serta posisinya yang
strategis, sehingga banyak negara yang menginginkan kepemilikan kawasan ini.
Laut Cina Selatan sebagai kawasan yang memiliki banyak potensi yang terkandung
di dalamnya di satu sisi menjadikan kawasan ini sebagai kawasan yang sangat
menguntungkan bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan tersendiri terhadap
kawasan ini, akan tetapi di sisi lain karena besarnya potensi yang dimiliki
oleh Laut Cina Selatan dan banyaknya negara yang menginginkan kepemilikan
kawasan ini maka kawasan Laut Cina Selatan juga mengandung potensi konflik. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa insiden yang sempat terjadi di perairan Laut
Cina Selatan, seperti bentrokan senjata yang terjadi antara negara-negara yang
berkonflik sepanjang konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan.
Keamanan kawasan Asia Timur pasca perang Dingin
melahirkan ketidak pastian strategis. Kondisi yang tidak pasti ini tentu saja
mempengaruhi presepsi masing-masing negara baik yang terlibat secara langsung
maupun negara-negara yang berada di kawasan tersebut tapi tidak terlibat secara
langsung. Tingginya dinamika interaksi di Laut Cina Selatan menunjukan besarnya
kapabilitas ekonomi, politik, dan militer di kawasan ini. Konflik perbatasan dan klaim tumpang tindih yang
terjadi di Kawasan Laut Cina Selatan masih kerap terjadi di antara
Negara-negara yang berbatasan langsung dengan perairan yang kaya akan sumber
daya alam dan memiliki posisi yang sangat strategis, dan hal ini menjadi
perdebatan antar beberapa negara-negara pengklaim kawasan tersebut. Beberapa
upaya telah dilakukan dalam mengatasi konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina
Selatan salah satunya yakni dengan cara diadakannnya perundingan-perundingan
yang melibatkan beberapa negara yang berkonflik hal ini ditujukan untuk meredam
konflik yang tengah terjadi di kawasan tersebut. Adapun hasil dari
penelitin menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan dan yang
melibatkan Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Malaysia, Taiwan, Filiphina,
dan Brunei Darussalam ini menimbulkan implikasi-implikasi politik dan keamanan
yang diakibatkan oleh adanya pergesekan kepentingan-kepentingan di antara
Negara-negara yang terlibat tersebut demi kepentingan masing-masing negara.
Daftar
Pustaka
http://neetatakky.blogspot.com/2011/05/solusi-penyelesaian-konflik-laut-cina.html
http://www.anneahira.com/laut-cina-selatan.htm
http://judiono.wordpress.com/2009/01/05/mencermati-sengketa-teritorial-laut-cina-selatan/
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar